Jakarta, Gatra.com - Pengamat Politik, Ray Rangkuti menilai bahwa pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari soal sistem pemilu proporsional tertutup tidak pantas.
"Tentu saja, pernyataan itu amat tidak elok. Selain karena perkara ini tengah disidangkan, juga karena hal itu tidak sesuai dengan tupoksi KPU. Ketua dan anggota KPU adalah pelaksana aturan," kata Ray dalam keterangan tertulisnya yang diterima pada Jumat (30/12).
Oleh sebab itu, Ray berpendapat bahwa sebaiknya Ketua KPU bisa menahan diri untuk menyatakan pendapat tentang berbagai hal di luar teknis pemilu dan pendidikan politik. "Sebaiknya ditahan atau setidaknya disampaikan dalam ruang terbatas," kata Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia itu.
Terlebih lagi, lanjut Ray, KPU baru-baru ini juga sedang menjadi sorotan publik, terutama kontroversi terkait verifikasi faktual dan penetapan Partai Ummat sebagai parpol peserta Pemilu 2024. “Rasanya, kontroversi tentang hal ini belum selesai, kini KPU memunculkan perbincangan tentang sistem pemilu yang di luar tupoksi mereka,” ujarnya.
Hasyim sendiri memang baru bicara soal kemungkinan alias belum pasti sistem pemilu proporsional tertutup akan berlaku pada Pemilu 2024 mendatang. Akibat adanya kemungkinan itu, Hasyim mengimbau agar para caleg menahan diri dulu untuk tak sibuk berkampanye dengan memasang baliho.
Namun, Ray melihat imbauan Hasyim tersebut sebagai bentuk dukungan implisit terhadap berlakunya sistem pemilu proporsional tertutup. Selain terlihat adanya kecenderungan terhadap sistem tertentu, sistem proporsional tertutup juga merupakan ide buruk dan mundur.
"Suatu imbauan yang menarik kita kembali ke zaman gelap politik. Proporsional terbuka adalah jawaban atas keputusasaan publik atas kinerja dan kepedulian partai yang seolah abai terhadap amanah rakyat," tegas Ray.
Ia mengakui bahwa sitem pemilu proporsional terbuka masih memiliki kekurangan. Akan tetapi, setidaknya dengan sistem ini, hubungan antara caleg dengan para pemilih masih terus terkelola.
Sebaliknya, apabila imbauan Hasyim agar bacaleg tidak memperkenalkan diri, misalnya melalui baliho, maka itu hanya akan mendekatkan pemilih ke parpol. Di saat yang bersamaan, bacaleg juga akan jauh dari masyarakat.
"Maka oleh karena itu, ide untuk menerbitkan larangan memperkanalkan diri sebagai bacaleg kepada para pemilih dalam sosialisasi sangat layak untuk ditolak. Sebaliknya, harus didorong kepada parpol untuk memperkenalkan sesegera mungkin bacaleg-bacaleg mereka kepada masyarakat sehingga kerekatan antara pemilih dengan caleg-caleg mereka makin tertata dan meningkat," ujar Ray.
Selain itu, Ray menegaskan bahwa LIMA Indonesia yang dipimpinnya juga mendorong agar ada aturan yang mengharuskan parpol membuat laporan penggunaan dana sosialisasi. "Sekalipun tidak bersifat keharusan, laporan semisal ini tetap harus didorong untuk dilakukan. Soal teknisnya, tentu dapat dipikirkan bersama," katanya.